Senin, 18 Maret 2013

Korban dan kejahatan perang

Korban dan kejahatan perang

Korban jiwa Perang Dunia II
Perkiraan total korban perang bervariasi, karena banyak kematian yang tidak tercatat. Kebanyakan pihak memperkirakan sekitar 60 juta orang tewas dalam perang, termasuk 20 juta tentara dan 40 juta warga sipil.[285][286][287] Banyak warga sipil tewas akibat wabah, kelaparan, pembantaian, pengeboman, dan genosida yang disengaja. Uni Soviet kehilangan sekitar 27 juta rakyatnya sepanjang perant,[288] termasuk 8,7 juta personil militer dan 19 juta warga sipil. Pangsa korban jiwa militer terbesar adalah etnis Rusia (5.756.000), diikuti etnis Ukraina (1,377,400).[289] Satu dari empat warga sipil Sovet dibunuh atau terluka dalam perang ini.[290] Jerman mengalami 5,3 juta kematian militer, kebanyakan di Front Timur dan sepanjang pertempuran terakhir di Jerman.[291]
Dari total korban tewas pada Perang Dunia II, sekitar 85 persen—kebanyakan Soviet dan Cina—berada di pihak Sekutu dan 15 persen sisanya di pihak Poros. Sebagian besar kematian ini diakibatkan oleh kejahatan perang yang dilakukan pasukan Jerman dan Jepang di wilayah pendudukan. Sekitar 11[292] sampai 17 juta[293] warga sipil tewas akibat kebijakan ideologi Nazi secara langsung maupun tidak langsung, termasuk genosida sistematis sekitar enam juta kaum Yahudi sepanjang Holocaust ditambah lima juta bangsa Roma, homoseksual, serta Slav dan suku bangsa atau kaum minoritas lainnya.[294]
Secara kasar 7,5 juta warga sipil tewas di Cina selama pendudukan Jepang.[295] Ratusan ribu (perkiraan bervariasi) etnis Serbia, bersama gipsi dan Yahudi, dibunuh oleh Ustaše Kroasia yang berpihak pada Poros di Yugoslavia,[296] dengan pembunuhan balas dendam terhadap warga sipil Kroasia tepat setelah perang berakhir.
Warga sipil Cina hendak dikubur hidup-hidup oleh tentara Jepang.
Kekejaman Jepang yang paling terkenal adalah Pembantaian Nanking, yaitu ketika sekian ratus ribu warga sipil Cina diperkosa dan dibunuh.[297] Antara 3 juta hingga lebih dari 10 juta warga sipil, kebanyakan etnis Cina, dibunuh oleh pasukan pendudukan Jepang.[298] Mitsuyoshi Himeta melaporkan 2,7 juta korban jiwa selama dilaksanakannya Sankō Sakusen. Jenderal Yasuji Okamura menerapkan kebijakan ini di Heipei dan Shantung.[299]
Pasukan Poros memakai senjata biologis dan kimia dalam jumlah terbatas. Italia memakai gas mustar saat menaklukkan Abisinia,[300] sementara Angkatan Darat Kekaisaran Jepang memakai berbagai macam senjata saat menyerbu dan menduduki Cina (lihat Unit 731)[301][302] dan pada konflik awal melawan Soviet.[303] Baik Jerman dan Jepang menguji senjata-senjata tersebut terhadap warga sipil[304] serta tahanan perang.[305]
Meski banyak aksi Poros diadili dalam pengadilan internasional pertama di dunia,[306] insiden yang diakibatkan pihak Sekutu tidak diadili. Misalnya, pemindahan penduduk di Uni Soviet dan penahanan warga Jepang Amerika di Amerika Serikat; Operasi Keelhaul,[307] pengusiran penduduk Jerman setelah Perang Dunia II, pemerkosaan pada pendudukan Jerman; pembantaian Katyn oleh Uni Soviet, yang tanggung jawabnya dituduhkan kepada Jerman. Sejumlah besar kematian akibat kelaparan juga disebabkan oleh perang, seperti kelaparan Bengal 1943 dan kelaparan Vietnam 1944–45.[308]
Sejumlah sejarawan, seperti Jörg Friedrich, menegaskan bahwa pengeboman massal kawasan berpenduduk di wilayah musuh, termasuk Tokyo dan terutama kota-kota Jerman di Dresden, Hamburg, dan Koln oleh Sekutu Barat, yang mengakibatkan kehancuran lebih dari 160 kota dan kematian 600.000 warga sipil Jerman, bisa dianggap sebagai kejahatan perang.[309]

Kamp konsentrasi dan perbudakan

Jenazah di kamp konsentrasi Mauthausen-Gusen setelah dibebaskan, kemungkinan tahanan politik atau tahanan perang Soviet
Nazi bertanggung jawab atas terjadinya Holocaust, yaitu pembunuhan sekitar enam juta kaum Yahudi (kebanyakan Ashkenazim), serta dua juta etnis Polandia dan empat juta orang lainnya yang dianggap "tidak layak hidup" (termasuk orang cacat dan sakit jiwa, tahanan perang Soviet, homoseksual, Freemason, Saksi-Saksi Yehuwa, dan Romani) sebagai bagian dari program pemusnahan dengan sengaja. Sekitar 12 juta orang, kebanyakan penduduk Eropa Timur, dipekerjakan sebagai buruh paksa di ekonomi perang Jerman.[310]
Selain kamp konsentrasi Nazi, gulag (kamp buruh) Soviet mengakibatkan kematian warga sipil negara-negara yang diduduki seperti Polandia, Lituania, Latvia, dan Estonia, serta tahanan perang Jerman dan bahkan warga sipil Soviet yang dianggap mendukung Nazi.[311] Enam puluh persen tahanan perang Jerman di Soviet tewas sepanjang perang.[312] Richard Overy memberi jumlah 5,7 juta tahanan perang Soviet. Dari jumlah tersebut, 57 persen meninggal dunia atau dibunuh dengan jumlah 3,6 juta orang.[313] Mantan tahanan perang Soviet dan warga sipil yang pulang diperlakukan dengan kecurigaan luar biasa sebagai pendukung Nazi yang potensial, dan beberapa di antara mereka dikirim ke Gulag setelah diperiksa NKVD.[314]
Kamp tahanan perang Jepang, kebanyakan dipakai sebagai kamp buruh, juga memiliki tingkat kematian tinggi. Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh menemukan tingkat kematian tahanan Barat adalah 27,1 persen (37 persen untuk tahanan perang Amerika Serikat),[315] tujuh kali lebih tinggi daripada tahanan perang di Jerman dan Italia.[316] Sementara 37.583 tahanan dari Britania Raya, 28.500 dari Belanda, dan 14.743 dari Amerika Serikat dilepaskan setelah penyerahan diri Jepang, tahanan Cina yang dilepas hanya 56 orang.[317]
Menurut sejarawan Zhifen Ju, sedikitnya lima juta warga sipil Cina dari Cina utara dan Manchukuo diperbudak antara 1935 dan 1941 oleh Dewan Pembangunan Asia Timur, atau Kōain, untuk bekerja di pertambangan dan industri perang. Setelah 1942, jumlah ini mencapai 10 juta orang.[318] U.S. Library of Congress memperkirakan bahwa di Jawa, antar 4 dan 10 juta romusha (bahasa Indonesia: "buruh manual"), dipaksa bekerja oleh militer Jepang. Sekitar 270.000 buruh Jawa dikirim ke wilayah pendudukan Jepang lain di Asia Tenggara, dan hanya 52.000 orang yang pulang ke Jawa.[319]
Pada tanggal 19 Februari 1942, Roosevelt menandatangani Perintah Eksekutif 9066 yang menahan ribuan orang Jepang, Italia, Jerman Amerika, dan sejumlah emigran dari Hawaii yang mengungsi setelah pengeboman Pearl Harbor sampai perang berakhir. Pemerintah A.S. dan Kanada menahan 150.000 warga Jepang Amerika.[320][321] Selain itu, 14.000 penduduk Jerman dan Italia di A.S. yang dianggap sebagai risiko keamanan juga ditahan.[322]
Sesuai perjanjian Sekutu pada Konferensi Yalta, jutaan tahanan perang dan warga sipil dimanfaatkan sebagai buruh paksa oleh Uni Soviet.[323] Dalam hal Hongaria, penduduknya dipaksa bekerja untuk Uni Soviet sampai 1955.[324]

Front dalam negeri dan produksi

Rasio PDB Sekutu dibandingkan dengan Poros
Di Eropa, sebelum pecah perang, Sekutu memiliki keunggulan signifikan dalam hal populasi dan ekonomi. Pada tahun 1938, Sekutu Barat (Britania Raya, Perancis, Polandia, dan Jajahan Britania) memiliki populasi 30 persen lebih besar dan produk domestik bruto 30 persen lebih besar daripada Poros Eropa (Jerman dan Italia); jika koloni disertakan dalam hitungan, Sekutu mendapatkan keunggulan 5:1 dalam jumlah penduduk dan 2:1 dalam PDB.[325] Di Asia pada saat yang sama, Cina memiliki jumlah penduduk enam kali lebih banyak daripada Jepang, tetapi PDB yang 89 persen lebih tinggi; jumlah ini berkurang menjadi populasi tiga kali lebih banyak dan PDB 38 persen lebih tinggi jika koloni-koloni Jepang disertakan dalam hitungan.[325]
Meski keunggulan ekonomi dan populasi Sekutu dimanfaatkan besar-besaran selama serangan blitzkrieg awal Jerman dan Jepang, mereka menjadi faktor penentu pada tahun 1942, setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet bergabung dengan Sekutu, setelah sebagian besar perang ini menjadi perang atrisi.[326] Sementara kemampuan Sekutu untuk melampaui produksi Poros sering dikaitkan dengan akses Sekutu yang besar ke sumber daya alam, faktor-faktor lain, seperti keengganan Jerman dan Jepang untuk mempekerjakan wanita dalam tenaga kerja,[327][328] pengeboman strategis oleh Sekutu,[329][330] dan peralihan terbaru Jerman ke ekonomi perang[331] sangat berkontribusi besar. Selain itu, baik Jerman maupun Jepang tidak berencana mengadakan perang yang berkepanjangan, dan tidak sanggup melakukannya.[332][333] Untuk meningkatkan produksi mereka, Jerman dan Jepang memanfaatkan jutaan buruh budak;[334] Jerman memanfaatkan 12 juta orang, kebanyakan dari Eropa Timur,[310] sementara Jepang memanfaatkan lebih dari 18 juta orang di Asia Timur Jauh.[318][319]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar